Bukan Cuci Otak, Ini Perbedaan Neurotransplantasi dengan DSA

Keberhasilan neurotranspartasi baru 31 persen.

Digital Subtraction Angiography (DSA) atau yang lebih dikenal cuci otak akhir-akhir ini mencuat di permukaan. Bahkan, metode yang dikenalkan oleh seorang dokter bernama Terawan ini membuat gaduh karena dianggap belum memenuhi standar kedokteran.

Setelah DSA atau yang belakangan disebut cuci otak ramai diperbincangkan, beberapa metode yang dianggap mirip pun menjadi sorotan. Salah satunya adalah Neurotransplantasi. Metode ini sendiri sudah diterapkan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. 

1. Neurotransplantasi berbeda dengan cuci otak

Bukan Cuci Otak, Ini Perbedaan Neurotransplantasi dengan DSADok. IDN Times/Istimewa

Meski banyak yang menyebut metode ini mirip, namun dokter spesialis bedah saraf RSUD Dr. Soetomo,  Asra Al Fauzi membantahnya. Menurutnya, DSA hanya diagnostik, sedangkan neurotransplantasi adalah upaya penyembuhan atau terapi. "Sekarang masih dalam tahap research," katanya kepada IDN Times, Selasa (10/4). 

Untuk manfaatnya, Asra menyampaikan bahwa neurotransplantasi dapat memulihkan saraf otak seseorang yang mengalami tiga penyakit, yaitu stroke, cerebral palsy dan spinocerebellar atraphy.

"Ini pengobatan dengan cara menyuntikan stem cell ke otak manusia yang menderita kelainan saraf. Dikhususkan saat ini bisa untuk beberapa penderita sakit saja belum menyeluruh."

2. Keberhasilan neurotranspartasi baru 31 persen

Bukan Cuci Otak, Ini Perbedaan Neurotransplantasi dengan DSAinc-asean.com

Asra mengatakan, setelah dicoba ke 60 sampel sejak tahun 2015, neurotransplantasi hanya memiliki tingkat keberhasilan 31 persen. "Otak pasien yang sarafnya mengalami gangguan, bisa di regenerasi dengan neurotransplantasi. Tapi angka 31 persen menurut saya belum memuaskan," ucapnya.

Dia mengidentifikasi bahwa 31 persen penderita yang ditangani dengan neurotransplantasi berhasil ada beberapa faktor. Yang pertama yakni usia pasien masih muda, kedua tidak punya penyakit lain dan ketiga kerusakan di otaknya tidak berat. "Maka dari itu ke depannya kami tingkatkan. Strategi riset kami perbaiki lagi. Agar nantinya dapat bermanfaat untuk semua orang yang memang membutuhkan," katanya.

3. Pasien neurotransplantasi tak perlu rawat inap

Bukan Cuci Otak, Ini Perbedaan Neurotransplantasi dengan DSAPixabay.com

Pengobatan neurotransplantasi merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Asra  menyampaikan bahwa pengobatan ini sangat ramah. Karena pasien tidak perlu melakukan rawat inap saat menjalani pengobatan neutranspartasi. "Sebab cara kerjanya itu stem cell langsung disuntikkan ke kepala untuk disalurkan ke otak. Tepatnya yakni ke rongga ventrikel atau rongga dalam otak," ujarnya.

Setelah disuntikkan, lanjut Asra, pasien bisa pulang. Bahkan, ke depannya pengobatan ini bukan hanya untuk pasien penderita penyakit parah, namun bisa digunakan juga untuk menjaga kebugaran tubuh. "Ada yang tiap tahun minta di neutranspartasi padahal sudah sembuh. Karena memang untuk memperbaiki sel saraf. Bisa meningkatkan sel saraf bisa memperbarui sel saraf," ulasnya. 

4. DSA sudah lama diterapkan di Surabaya

Bukan Cuci Otak, Ini Perbedaan Neurotransplantasi dengan DSAPixabay.com

Asra juga angkat bicara tentang DSA yang banyak diperdebatkan. Menurut dia, prosedur tersebut sebenarnya sudah rutin dilakukan di beberapa rumah sakit. Namun, kebanyakan orang mengenalnya sebagai kateterisasi otak. 

"Hampir semua RS di Indonesia mungkin sudah melakukan karena fasilitas cath laboratorium sudah ada. Seperti MRI dan CT scan, DSA itu sarana diagnostik untuk kelainan pembuluh darah otak," ujarnya.

Baca juga: IDI: Uji Kelayakan Metode Cuci Otak Dokter Terawan Masuk Ranah Kemenkes

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya